CERITA SANG
MANGGA TUA
oleh A. Dewi
Hari menjelang malam. Sayup-sayup terdengar adzan
berkumandang. Menghiasi keremangan senja yang berwarna jingga. Burung-burung
agaknya sudah kembali ke sarang. Hanya tinggal jangkrik dan sederet hewan malam
yang bangun, tampak siaga, dan memulai perburuan. Aku tetap di sini, berdiri
tegak, bagai mandor yang mengawasi. Diantara padi-padi merunduk yang mulai tak
terlihat termakan gelap. Bersanding dengan gemericik air sungai kecil yang
mulai terdengar syahdu melengkapi nada-nada malam.
Sudah lama sekali aku disini. Puluhan tahun sepertinya.
Takdir Tuhanlah yang membuatku bisa bertahan sampai saat ini. Semua saudaraku
sudah tak tampak rupanya. Tapi aku yakin mereka disana bahagia, karena bisa
terbebas dari kehidupan yang nampak mulai kejam.
Baik, akan aku kisahkan sebuah cerita, yang aku dapatkan
selama aku berada di sini. Aku memang hanya sebatang pohon mangga. Pohon mangga
gadung yang berada di tengah persawahan. Aku tak ditebang karena
manusia-manusia itu menyukai buahku. Hal yang sama tak terjadi pada saudara-saudaraku
dahulu, mereka habis dirambah manusia-manusia yang membuka hutan untuk
kehidupannya.
Aku sama sekali tak membenci manusia. Kita semua
sama-sama makhlukNya kan? Aku juga bertasbih dengan caraku sendiri. Seperti
mereka yang selalu melewati jalan di seberang saat hendak ke surau. Tak jauh
dari tempatku berdiri. Aku sangat bahagia bisa melihat wajah-wajah bercahaya
itu. Seperti bulan yang menerangi saat gelap. Kuharap kelak aku bisa ikut
menjadi saksi tentang ketaatan mereka pada sang Pencipta.
Dulu, saat aku masih berupa tanaman kecil, hidupku sangat
bahagia di kelilingi oleh saudara-saudaraku. Hewan-hewan banyak menjadi
temanku, dan alam sangat bersahabat. Hujan datang dengan teratur. Aku masih
ingat ragaku bergetar hebat kala air hujan datang membasahiku dengan tiba-tiba.
Dengan turunnya hujan, kami dapat menghijau dan tumbuh subur. Bunga-bunga
bermekaran, buah-buah bermunculan, dan rumput-rumput hampir menutupi seluruh
tubuh mungilku. Itu sebelum aku bersiap untuk tumbuh dengan cepat. Saat musim
kemarau pun, kami pun bisa bertahan, karena air tanah masih tersedia. Kotoran dari hewan-hewan pun sangat
membantu kami untuk memperoleh unsur hara. Simbiosis mutualisme, istilah yang
baru aku pelajari dari anak desa yang mampir kemari, mungkin hubunganku dan
hewan-hewan itu demikian adanya.
Entah, burung apakah yang kala itu membawa biji ku ke
tanah ini. sehingga aku dapat tumbuh dan menjadikannya tanah kelahiranku. Mungkin
juga kelelawar yang kekenyangan dan membawa serta biji mangga gadung yang baru
saja dimakannya.
Dahulu manusia-manusia di sekitarku masih sangat sedikit.
Dulu mereka sekedar mengambil hasil kami. Mereka mengambil daun-daunan,
mengambil ranting-ranting yang telah patah dari kami, berburu hewan-hewan kecil
diantara kami. Aku masih ingat tawa anak-anak desa di pinggir hutan ketika
berhasil mengambil kelapa muda yang ada di dekat tempatku berdiri.
Berjalan-jalan hingga senja hari, dan menyalakan api unggun di antara rimbunnya
rerumputan yang menjadi hangus dan kering setelah pagi harinya. Kala itu aku
masih belum berbuah. Aku masih berusaha meninggikan tubuhku. Aku ingin jadi
pohon yang tinggi. Agar anak-anak itu bisa memanjatku. Dan agar pandanganku
bisa luas. Walau aku tumbuh di tengah gumuk, yaitu gundukan tanah yang lebih
tinggi dari daerah sekitarnya, tapi dengan tinggi yang pas-pasan, tentu
pandanganku tak bisa menjelajah. Padahal, kata pohon dadap yang tumbuh 5 meter
di selatanku, aku cukup beruntung bisa tumbuh ditempatku. Aku pikir dia juga beruntung,
karena memiliki bunga berwarna merah yang sangat indah.
Aku semakin tak sabar untuk menjadi besar dan tinggi
seperti mereka. Sebab, kata mereka pemandangan di sekitar kami sangat indah. Tapi
tiba-tiba keinginanku itu sedikit terhalang. Tubuhku baru setinggi 3 meter
ketika datang sekelompok orang yang membawa kapak-kapak ke hutan tempat ku
tinggal. Wajah mereka menyiratkan harapan. Ya, harapan dapat menemukan
penghidupan lebih baik. Walau ada beberapa pasang mata mereka yang seliar
kobra, dan setajam mata pisau. Entahlah apa sebenarnya yang mereka pikirkan. Mereka
memulainya pada pagi hari, dan pulang saat petang hari. Aku hanya bisa berdiri
menatap. Ular-ular bersembunyi di dekat rerimbunan belukar. Kadal lari tunggang
langgang. Kucing hutan mungkin sudah keluar hutan. Burung-burung terbang
mencari tempat berlindung. Mungkin hari ini saatku, pikirku di suatu siang.
Namun ternyata hariku belum sampai. Aku berkeringat diantara angin semilir yang
membelai daunku. Ranting-ranting terkoyak diantara suara kapak-kapak yang silih
berganti, batang-batang terbelah. Daun hijau, daun kuning beradu untuk cepat
sampai ke tanah. Tak dinyana ternyata daun muda yang lebih dulu sampai. Terbawa
ranting yang gugur ksatria. Alam seperti terbangun. Saudara-saudaraku lenyap
terkoyak. Di minggu pertama, mereka sudah melenyapkan sebagian dari
ekosistemku. Mereka tak memilih. Apapun jenisnya, masih mudakah, sudah tuakah?
Apakah langka, atau bahkan hanya perdu biasa. Semua yang menjadi penghalang
akan disingkirkan. Bahkan hewan-hewan hanya bisa pasrah dan menyingkir. Saat
itu, aku hanya bisa menunggu. Mungkin cita-citaku mempersembahkan buahku yang
terbaik untuk anak-anak mereka akan segera musnah. Ditelan kebutuhan dan
prioritas mereka.
“Hee... lihat, ada pohon mangga disini. Liat dia,
sepertinya dia akan berbuah bagus. Janganlah ditebang dulu. Letaknya juga bagus,
dia akan jadi tempat istirahat yang bagus kelak.” ujar salah satu dari mereka
sambil mengoyak-oyak batangku dengan kasar. Entah apa maksudnya.
“Halah, kita ini mau buka hutan, masak sedikit-sedikit
kau kasihan. Ya banyak nanti yang kau pertahankan.” jawab seorang lagi yang
tengah berjibaku dengan semak belukar, bersenjatakan celurit tajam, ia terlihat
akan menang.
“Tapi lihat tempat dia tumbuh, di gumuk kecil yang sangat
pas untuk kita jadikan pembatas persawahan kelak. Kenapa kau tak melihat jauh
kedepan, Paman!”
“Yah, boleh lah, untuk sekarang dia boleh bertahan. Ke depan,
kita lihat lagi, kalo ternyata tak berguna, kita tebang saja.” kata Bapak tua
berjanggut yang sudah kotor seluruh tubuhnya, terkena serbuk-serbuk kayu dan
bekas tanah.
Seorang remaja mengamati sekitarku. Krash! Ia memotong
ranting bawahku yang menghalanginya duduk di bawahku. Ia bersiul dan tampaknya
sedang memandangi seekor burung warna-warni yang tengah berkicau diantara
rantingku. “Iya lah, jangan di tebang dulu.” ujarnya lirih sambil bersantai
dibawahku.
Semilir angin sore menerpaku. Membuai rumput-gajah yang
masih tersisa diantara tanah yang mulai lapang. Mereka sudah mengemasi
kapak-kapaknya, dan berjalan pulang. Menyisakan semua yang masih carut-marut.
Gelondongan kayu-kayu berbagai jenis masih teronggok berantakan. Apalagi semak
belukar yang mereka buka, bergunung-gunung dedaunan yang hampir semuanya sudah
layu dan bahkan sudah menghitam. Berserakan. Hanya ada beberapa capung dan
beberapa tupai, yang masih terlihat memungut sisa-sisa kejayaan. Hari sudah
sore, tapi matahari masih sangat memanggang. Tak ada lagi tempat teduh disini.
Hanya tinggal aku yang terlihat. Beberapa pohon kelapa, serta sebatang pohon
waru yang nyaman di dekat sungai kecil yang terlihat tirus.
Manusia memang paling makhluk paling pandai di muka Bumi.
Itu sebabnya Tuhan menjadikannya pemimpin. Tak perlu waktu lama, sekitarku
sudah berganti seperti sekarang. Menjadi persawahan yang luas. Padi-padi
membentang kala musim tanam tiba. Dan kala panen menjelang, para petani itu
menyambut dengan gembira. Dan kau tahu, ucapan saudaraku dulu memang tidak
salah. Pemandangan di sekelilingku memang yang terbaik. Walau akhirnya tubuhku
tak terlalu tinggi, namun aku bisa melihat sekeliling dengan jelas. Di sebelah
timur aku melihat laut dari kejauhan. Dan di barat, kutatap pegunungan.
Gunung-gunung yang tampak kokoh diantara titik-titik kecil pedesaan dari kaki
gunung. Ditambah kini persawahan membentang. Aku juga bisa melihat surau kecil
di seberang. Surau yang mengalunkan nada Ilahi yang tak pernah bosan kudengar.
Kupandang sekelilingku. Ya! Aku tak boleh terbenam dalam
kesedihan. Kini hidup baru di depan mata. Kegembiraan menyongsongku.
Menyalamiku seraya memperlihatkan kuasa Tuhan. Kesedihanku pun perlahan berganti
kegembiraan. Gembira karena akhirnya aku dapat berguna bagi mereka. Gembira
karena mereka sangat menyukai buahku. Gembira kala para petani dan anak-anak
mereka, singgah di bawahku. Mereka melepas lelah sambil membawa bekal dan
menghabiskannya. Kulihat semangat mereka, tawa canda mereka ketika saat bertanam
tiba. Tawa anak-anak desa yang bermain di sawah dan senyum puas para petani
yang sukses memanen hasil sawah mereka, merupakan peristiwa terindah yang
selalu aku nantikan.
Oiya, ada seorang gadis kecil yang kuingat. Seorang gadis
yang sering berlama-lama dibawahku. Seorang gadis yang sering manjadikan akarku
sebagai bantalan ketika ia tertidur. Gadis kecil yang sangat menyayangiku dan
semua yang ada di tanah ini. gadis kecil yang walau tak bisa memanjatku, namun
selalu menyebarkan kegembiraan disekitarku. Bercanda dengan serangga-serangga
kecil sambil memetik buahku yang ranum dengan galah, memandang langit luas,
selalu menjadi kebiasaannya saat menjadikanku peneduhnya di siang yang panas.
Di sore hari, gadis itu sering menjemput sang ayah yang sedang bertani. Entah
sudah berapa tahun lalu terakhir dia kemari. Waktu itu ia memandangku dari
jauh. Setelah itu lenyap, dan dia tak pernah kembali.
Kegembiraanku berkurang. Bahkan kini, semuanya pun sudah
tak sama lagi.
Kutatap capung kecil yang terdiam di antara pucukku.
Tampaknya ia sudah terlelap. Capung
kecil yang mengaku datang dari jauh, terbawa sebuah mobil dari kota yang
menderu beberapa belas jam hingga tiba senja tadi. Lelah terbang rendah, dan beristirahat
diantara pucuk mudaku yang lambat tumbuh. Malam sudah semakin larut. Surau itu
pun kembali sepi. Kini kawanku hanya angin malam yang terasa menusuk kambiumku.
Dan kelelawar yang sibuk mencari buah-buah ranum yang mungkin masih tersisa.
Maaf kawan, kini aku hanyalah sebatang pohon mangga tua yang sudah berayap.
Buahku kini tak sebanyak dulu. Tapi, jika ada, ambillah sesuai kau mau.
Ku tatap bulan separuh malam itu. Ia tersenyum, tampaknya
jam istirahatnya akan menjelang. Kumohon temani aku wahai bulan, hingga hangat
kembali datang.
Suara adzan mengalun merdu memecah kesunyianku. Membimbing
hati yang senantiasa butuh untuk bersuci. Mengabdi pada yang punya hidup.
Capung teman baruku masih saja terdiam. Gelap mulai berkemas. Bahkan subuh kini
seperti hanya sekejap mata. Aku menghirup oksigen yang tersisa di sela-sela
mulut daunku. Allah benar-benar menciptakan malam dan siang dengan sempurna.
Menjadikan semua makhluknya beristirahat dan bekerja dengan sangat berimbang.
Kokok ayam bersahut-sahutan. Menggantikan suara binatang malam yang mengalah.
Bulan pun tertutup indahnya mentari pagi.
Capung kecil membuka matanya. Ia berkerlap-kerlip
menyaksikan suasana yang perlahan memenuhi mata kecilnya. Pagi baru di tempat
baru.
* * *
Aku tak tahu kemana perginya teman kecilku itu. Kuharap
ia akan baik-baik saja. Aku harap ia tak dimangsa burung yang lapar, atau
tersesat di rumah-rumah berjendela lebar. Semoga juga tidak tertangkap tangan
anak-anak yang berangkat sekolah.
“Kenapa yang aku lihat tak seperti indahnya ceritamu
kawan?” tiba-tiba sayap kecil itu kembali.
“Apa yang berbeda wahai capung?”
“Walau awalnya ceritamu sangat menyedihkan, tapi aku
cukup senang dengan akhirnya. Persawahan gelap yang aku lihat tadi malam dengan
mataku yang lelah, cukup membuatku puas. Burung-burung disini pun, kurasa cukup
jarang. Namun ternyata indahnya ceritamu hanya masa lalu. Lihat disana, di
sawah itu, Tak ada yang lebih menyedihkan selain melihat padi-padi yang gagal
karena kekeringan. Dan disana, padi-padi diserang burung yang kebingungan.
Belum lagi tikus-tikus yang berpesta pora menyerang. Aku yakin tak lama lagi para
petani itu akan memanen padinya dengan terpaksa. Aku tak sanggup melihat wajah
mereka akan cemberut, ditekuk, bahkan mungkin putus asa.”
“Pagi ini bahkan aku hampir saja tertangkap seekor kadal kurus
yang buas.”
“Persawahan dan gunung disana pun hampir tak terlihat,
diganti rumah-rumah berjendela lebar dan gersang. Aku benci rumah-rumah bercat
putih itu. Ia bertambah seperti jamur di musim hujan..” tambah capung panjang
lebar.
Angin kering membelai tubuhku yang menua. Kutatap capung
kecil berhati besar itu. “Ya, walau itu semua mungkin hampir hanya tinggal
cerita, tapi aku sangat bangga bisa bercerita padamu. Liat disana, di papan
itu, mungkin tak lama lagi semuanya hanya akan menjadi cerita indah. Tanah ini
akan dijual. Itu kata orang yang satu minggu yang lalu menancapkan papan itu
disana. Tapi semua memang ada batasnya kawan. Betapapun, bumi sudah semakin
sesak dan tua. Alam semakin goyah, dan kita semua hanya bisa pasrah.”
Capung kecil terbang menggapai dedaunan kecil dan
pelan-pelan memakannya.
“Sudahlah, aku lelah kawan. Kau benar, kita hanya makhluk
lemah. Biarkan aku disini saja sampai tiba waktuku.”
Ciitt..........Pandangan kami tertegun. Terlihat sebuah
mobil yang berhenti. Seorang wanita terlihat keluar dari mobil berdebu itu.
Diikuti oleh seorang lelaki dengan anak perempuan dibelakangnya.
* * *
Dibawah Pohon Mangga di tengah sawah! Aku sangat
menikmati saat-saat itu. Duduk sambil diantara akar-akar pohon yang laksana
jemari mencakar bumi. Kadang kala sambil tidur-tiduran, membaca buku, tak
jarang mengintip sang mentari dari rimbun dedaunan yang kadangkala membentuk
garis cahaya yang indah.
Aku sangat merindukan saat-saat indah masa kecilku. Udara bersih ditambah angin sepoi-sepoi sungguh membuat damai di hati dan pikiran. Kala itu,
menyepi sambil menemani ayah adalah rutinitasku selalu. Bahkan melakukannya
lebih asyik daripada bermain boneka di rumah Tuti, sahabat kecilku. Tak jarang,
rasa kantuk tak bisa kuhindari. Aku pun tertidur seperti anak keong masuk ke
rumah keong-nya. Nyenyak dan hangat. Entah kenapa disana aku selalu merasa aman
dan nyaman.
Dan saat ini, kerinduanku seperti
membuncah. Entah bagaimana keadaan sawah itu. sawah yang kami jual dulu. Entah
bagaimana pula pohon mangga kesayanganku. Semoga janjiku dahulu bisa aku
tunaikan saat ini.
Kali ini aku yang menjadi nahkoda di mobil ini. Suamiku
dan putri kecilku duduk disampingku. Kususuri jalan desa yang semakin lebar
sejak kepergianku dulu. Perumahan-perumahan baru sedikit mengernyitkan dahiku.
Aku tak menyangka semua telah berubah. Ku berharap akan menemukan tenang, tapi
dimana-mana yang ada hanya modernisasi. Kulihat seorang yang belia menggendong
buah hati di teras rumah sederhana. Pantas saja tanah luas kini mudah berganti
wajah. Jumlah manusia semakin banyak. Tapi tak berimbang dengan alam yang
semakin sempit. Manusia-manusia yang berpunyalah yang biasanya berkuasa. Tapi tak
banyak yang bertindak bijaksana. Pohon ditebang habis, tanah sawah beralih
fungsi. Entah bagaimana nasib anak cucuku kelak. Semoga masih ada asa tersisa.
Otakku sedikit terkuras untuk mengingat letak persawahan
itu. Kutengok kanan kiri jalanan yang mulai aku ingat. Ladang yang lesu.
Beberapa tak terurus. Beberapa berisi padi yang gagal. Ada juga sebagian kecil
yang masih bertahan. Dan, Ya! Aku menemukannya! Sawah yang dulu dibeli ayah
kami, namun dijualnya kembali. Sebidang sawah yang cukup luas dengan penanda
sebatang pohon mangga di tengahnya. Aku rasa tak ada sawah lain yang seperti
itu. Tak sabar aku memberhentikan mobilku di pinggir jalan. Kami pun turun dari
mobil.
“Bunda! liat, bahkan Allah sudah membuka jalan untuk niat
baik bunda!” Suamiku berseru sambil menunjuk papan lebar di sawah itu ketika
kami sudah berjalan mendekatinya.
Aku tersenyum menatap suamiku. Alhamdulillah, ternyata
tanah ini masih seperti yang dulu. Walau tanah-tanah disekitarnya hampir-hampir
tak terurus. Namun sawah ini masih terlihat. Aku benar-benar senang. Kualihkan
pandanganku pada pohon mangga kesayanganku. Kami seperti saling bertatapan. Ya!
Keinginanku sudah bulat. Semoga tanah ini bisa aku ambil alih kembali. Insya
Allah akan aku remajakan kembali tanahnya. Aku buat menjadi perkebunan buah
tropis, seperti mimpiku dulu.
Aku berlari kecil menyusuri bedengan-bedengan sempit
menuju pohon mangga tua itu. Pohon mangga gadung itu masih berdiri tegak
disana. Bagai peneduh yang setia menunggu seseorang yang butuh perlindungan.
Tak takut akan hujan, petir, bahkan terik matahari yang membakar. Sejenak,
kulihat anakku dan suamiku mengikutiku dari belakang.
Angin kering perlahan meniup ujung jilbabku, memberi
kesejukan dikala keringat menjalar. Aku pun sampai di bawah pohon itu. Berjalan
sejenak mengitarinya, sembari menyentuh batang kuatnya yang berayap di sana
sini. “Apa kau masih ingat aku, wahai pohon? Aku gadis kecil penunggumu dulu!”
“Tak kusangka kau masih berdiri disini. Aku sangat
bahagia bisa bertemu denganmu lagi...” Aku menatapnya dengan takjub. Kulihat seekor
capung kecil yang indah terbang rendah dan hinggap di dekat akarmu. Lagi-lagi mengingatkanku
akan kenangan bersamamu.
“Ini pohon mangga yang selalu bunda ceritakan, Ayah,
Nayla. Persis seperti yang bunda ceritakan kan. Dulu buahnya sangat manis dan
besar-besar. Bunda selalu mengambilnya dengan lancang. Hahaha..” Aku
menjelaskan pada suamiku yang berjalan mendekatiku. “Insya Allah, jika semuanya
lancar, kelak pohon ini tetap disini hingga roboh dengan sendirinya. Kelak akan
ada banyak pohon disini! Aamiin...Ya kan Ayah... Ayah dukung bunda, kan? Aku
tersenyum meminta persetujuan suamiku.
Lelaki pemimpinku itu tersenyum, diikuti anggukan anakku
yang terlihat senang.
* * *
“Siapa dia? Wahai pohon! Apa kau mengenalnya?” tanya sang
capung padaku.
Aku hanya terdiam membisu. Menikmati hawa sejuk yang
serta merta menyentuhku kala ia memperkenalkan dirinya. Wanita ini? benarkah
gadis kecil yang kurindukan?
Kulihat sinar matanya yang tulus tak berubah.“Ia adalah
pertolongan dari Allah, wahai capung. Kuharap masa depan kita akan lebih baik
setelah ini.”
Kami berdua tersenyum, memandang tiga orang baik
yang tersenyum di depan kami.Banyuwangi, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hai Sobat.. Jangan lupa memberi komentar ya...
terima kasih..