Selasa, 31 Agustus 2021

CERPEN : CERITA YANG SELALU SEPARUH

 

Cerita yang Selalu Separuh

Oleh A. Dewi



Pukul dua belas lebih empat puluh sembilan menit. Waktu ketika aku mulai menulis sesuatu. Sesuatu yang berhasil kutulis setelah sekitar satu minggu tak menjamah satu-satunya mesin berteknologi yang paling kuimpikan sejak bertahun lalu. Laptop ini, ya, baru lulus ku membayarnya sebulan yang lalu. Si hitam yang selalu terlihat menganga untuk rindu ku gunakan dengan kegunaan yang benar, bukan hanya untuk hiburan berupa game-game yang selalu dimainkan adikku, atau video tutorial hijab yang selalu diputar sepupuku kala butuh. Laptop yang sebenarnya kuinginkan sebagai lahan produktifitasku. Sebagai penyalur hobiku. Dan tentu saja membantuku untuk mendapatkan pundi-pundi hidup.

Aku suka menulis. Walau sebenarnya lebih suka membaca. Karena membaca itu sangat menyenangkan. Aku bisa keliling dunia dengan membaca. Meski hanya dalam angan dan imajinasi. Dan tentu saja, wawasanku akan bertambah karena membaca. Di waktu-waktu senggangku, aku banyak membaca  dari hape mungilku-karena tak sanggup beli buku tebal tepatnya- entah itu membuka laman koran online atau menjelajah mbah google hingga mata buram. Aku juga gemar mencari berita-berita basi di potongan surat kabar yang didapatkan Ibu, saat pelanggannya menyerahkan kain atau baju yang mesti di jahit, di edit, atau di revisi. Di surat kabar itu kadang ada berita yang penting; walau sering-sering memuakkan. Ada juga kisah inspirasi, tips menarik, gosip artis, dan cerita bergambar. Tapi kebanyakan surat kabar yang mampir di antara tumpukan kain-kain Ibu hanya berupa iklan mini untuk  jual-beli mobil motor bekas, masih mulus, full modifikasi, atau iklan besar yang menghabiskan satu halaman depan koran. Aku sampai tersenyum simpul melihatnya. Teringat kegigihan mereka yang ingin barangnya terjual. Dengan berbagai cara, termasuk iklan itu. Semua itu untuk hidup bukan?

Ku pandangi sekali lagi laptop di depanku. Lalu, sejak kapan sebenarnya aku tergerak untuk mendapatkan barang ini? uang yang sedianya aku tabung dengan tujuan lain, akhirnya menyerah aku serahkan kepada finance untuk uang muka laptopku. Pun, mengurangi jatah ibu untuk membayar bulanannya. Aku menghempaskan tubuhku ke samping. Pandanganku serta merta beralih di internit kamarku yang bolong-bolong. Sedikit banyak terlihatlah ruang gelap diantara genting dan kayu-kayu atap yang sedikit menakutkan. Bulu kudukku meremang. Sedikit takut, aku kembali tengkurap dan menghadap laptopku, mencoba meneruskan tulisanku. Terdengar teriakan ibu yang memanggil adikku. Ah Ibu, maafkan anakmu ini ya.

Memang semua rencana jadi melenceng karena aku yang kecanduan. Sejak aku yang tak bisa lepas memandangi hape hitam yang memunculkan cerita-cerita  pendek dari penulis idolaku. Siapa itu Kurnia Effendi, Gus Tf Sakai, A. Mustofa Bisri, siapa pula N. Marewo, atau Helvy Tiana Rosa, dan banyak lagi nama lainnya. Semuanya sebenarnya tak aku kenal secara nyata, tapi berhasil menghipnotisku dengan karyanya. Berhasil membuat anganku melambung ke angkasa. Membayangkan kalau suatu saat aku bisa menjadi seperti mereka. Melihat karyaku di surat kabar nasional, dapat memuaskan para penggila kisah sepertiku, dapat memberi pencerahan, juga bisa dapat uang honor, dan tentunya membuat orangtua bangga. Walau tidak semudah aku membayangkan. Tapi saat itu, aku yakin seyakin yakinnya bahwa aku bisa.

Sebenarnya Ibu sudah berdecak-decak; walau bukan decak kagum atau decak mirip cicak. Decak ibu adalah decak kebiasaannya kala mendengarku yang sering bercerita dan berencana aneh bin ajaib padanya. Dan decaknya kali ini kuhitung dalam otak, adalah decaknya yang ke empat.

Pertama dulu, saat aku dengan bergairah ingin melanjutkan kuliah. Setelah aku berhasil lulus dengan nilai yang standar. Walau tak ada angka enam di nilai akhirku. Aku cukup malu memperlihatkannya pada Ibu, orang tuaku satu-satunya yang tersisa. Ibu tidak berdecak kala itu, namun saat aku ingin kuliah, beliau berdecak. Menimbulkan suara khas yang menjengkelkan bagiku. Alamat tak ada izin darinya. Dan benar, Ibu tak mengizinkan. Ibu mengingatkanku akan adik lelakiku yang mau masuk ke sekolah menengah pertama. Tentang anak tetangga agak jauh yang pamit mau ke luar kota kuliah, malah pulang-pulang bawa suami dan anak. Padahal belum genap dua tahun ia kuliah.

“Kuliah apa itu, Nak? Mending kamu bantu Ibu disini. Gunting-gunting kain, neci, atau memasang kancing,” ujar Ibu berapi-api kala itu.

Apalagi Ibu mengingatkanku bahwa perempuan itu kelak juga nantinya akan jadi Ibu rumah tangga, melayani  suami, anak-anak, dan tidak perlu jauh-jauh pergi keluar kota untuk menuntut ilmu sampai tinggi. Kepalaku hanya berdenyut-denyut saat itu. Pikiran Ibu masih lawas ternyata.

Tapi, karena aku bukan tokoh yang pantang menyerah dan bekerja keras untuk bisa tercapai keinginannya, aku pun legowo1) atas pilihan ibu. Sifatku memang bukan tipikal orang sukses yang banyak diceritakan di biografi orang besar. Kalo aku sendiri, aku masih senang berada di belakang langkah Ibu. Akhirnya aku pun menuruti Ibu, selepas SMA, aku tak sekolah lagi. Kegiatanku hanya mengantar adik sekolah, les jahit pada Ibu, dan ber SMS dengan pacarku. Haha. Pacar yang hanya berani kutemui di dunia pesan dan telepon.

Decak yang kedua, saat aku menyampaikan keinginanku untuk memiliki usaha bros dari kain-kain bekas yang dipunya ibu. Kain-kain bekas yang tak terpakai akan kusulap menjadi aneka bros-bros menawan. Seperti yang aku lihat di toko seberang sekolah adikku. Sangat menarik. Aku mulai memikirkan cara-cara yang tepat untuk usahaku ini. mulai memikirkan nama apa yang pas untuk produkku ini. Mulai lebih mendekati Ibu karena aku butuh peralatan menjahitnya, dan mulai menemukan ide-ide baru. Saat itu, tanganku berpuluh-puluh kali terkena jarum, lebih parah saat les jahit pada Ibu. Les jahit yang tak terlalu sukses, karena aku lebih banyak menonton televisi dari pada melihat dan membantu Ibu mengurusi jahitannya.

“Sebenarnya kamu itu berbakat, tapi sayang  kamu itu banyak malasnya.” ujar Ibuku suatu kali. Aku hanya bisa nyengir mendengarnya. Di depanku, setumpuk kain-kain kecil warna warni seperti menunggu untuk di jahit. Rasanya aku sudah pusing dengan usahaku ini.

“Aku vakum dulu ya, Bu. Sepertinya aku nggak sesabar ibu dalam menghadapi kerumitan kain-kain ini.” aku mengatakannya saat aku baru menghasilkan bros kain 3 lusin. Itu pun yang dua lusin masih terbungkus karena belum ada yang membelinya.  Ternyata disamping pemalas, aku juga nggak punya bakat berdagang. Hanya langganan Ibuku yang kadang membeli hasil karyaku. Itupun Ibu lah yang pontang-panting menawarkan.

Seperti biasanya, Ibu tergelak mendengarnya. Sedang adikku mencibir bahwa aku memang nggak bakat jadi orang yang sukses.

Decak ketiga, saat aku menolak perjodohan dari keluarga sahabat Almarhum Bapakku. Juragan Garam. Katanya sih, anaknya sahabat Bapak itu ganteng, alim, selesai kuliah di Surabaya, dan sekarang udah kerja di Kantor Pos.

Halooo? Apakah ini masih zaman 80an ibu? Jawabku saat Ibu memberitahuku soal perjodohan itu. Beliau sampai mendadak pening mendengar celotehanku. Aku ogah nikah kalo belum sukses. Alasan yang membuat Ibuku tambah melongo. Sebenarnya Ibu sudah menasihatiku berulang kali agar aku memikirkan kembali hal ini. tapi, sebagai gadis berusia 20 tahun yang masih polos dan ingin melihat dunia, aku dengan tegas menjawab. “Maaf, Ibu. Jangan paksa aku ya... Insya Allah habis ini aku mau berusaha jadi sukses. Baru berpikir untuk menikah? Oke?”

Jadilah kami tak jadi menjadi bagian dari keluarga juragan garam yang lumayan kaya itu. Ibu masih setia dengan usaha jahit menjahitnya, dan aku, yang masih ogah dilamar, memutuskan untuk melamar  terlebih dahulu. Melamar kerja tentunya.

Melamar kerja dengan ijazah SMA sepertiku memang susah-susah gampang. Mau kerja yang lebih tinggi derajatnya, tentu juga butuh pendidikan lebih tinggi. Apalagi mimpi jadi Pegawai negeri, mungkin lebih sulit lagi. Walau bukan mustahil. Aku cukup sadar itu. Karena itulah aku tak muluk-muluk. Batu loncatan pertama aku berhasil bekerja di sebuah toko swalayan yang besar di kotaku.

Lebih senang lagi ketika aku ditempatkan di stan toko buku. Waaah, serasa bertemu bagian dari diriku disini. Aku jadi update tentang buku-buku terbaru, penulis yang sedang banyak dibicarakan, bermacam-macam jenis bacaan, hingga berbagai macam penerbit yang sudah malang melintang di dunia literasi.

Dari sanalah aku tergerak untuk bergerak. Untuk berkarya. Bukan hanya membaca karya orang lain saja, aku juga harus bisa menulis seperti mereka. Aku ingin seperti para penulis idolaku yang hebat. Dengan tulisannya yang menawan, pencerahannya yang sangat kuat, dan imajinasi yang luar biasa. Mulailah aku, dengan senjata hape imutku, berselancar ria, mendalami ilmu literasi dengan membaca. Hingga aku menemukan aliran tulisan yang pas dengan jiwaku. Ya para penulis-penulis yang kusebutkan di awal, cerpen-cerpen luar biasa yang seketika membuatku membayangkannya seperti kenyataan. Kadang ending yang “nylekit”, atau klimaks yang tak terduga, diksi yang rumit, plot yang acak tapi “keren”, hingga cerita yang sederhana namun dengan pesan yang sangat istimewa.

Hingga akhirnya aku menggerakkan mulut Ibuku untuk berdecak yang keempat kalinya, saat aku mengutarakan keinginanku untuk memiliki sebuah mesin berteknologi yang bisa menyimpan segala ide yang akhir-akhir ini menembus alam bawah sadarku. Lampu yang sering tiba-tiba menyala dan membuat aku tiba-tiba hilang konsentrasi. Seperti ada bagian dari otakku yang agak korslet jika tidak segera di keluarkan. Seperti rasa mual yang harus dimuntahkan. Seperti kran bocor yang tak memiliki wadah penampung. Saat kerja aku memikirkan tema cerita, saat di rumah, tiba-tiba aku memiliki ide. Aku sampai seperti orang yang kurang waras.

***

Ternyata nggak semudah yang dibayangkan. Menggoreskan tinta pada selembar kertas memang gampang. Bicara kalau kita bisa juga mudah. Tapi merangkaikan kata demi kata menjadi kisah yang runtut dan unik sangat penuh perjuangan untukku. Si hitam sekarang sudah dimata. Walau aku harus melawan Ibu yang berdecak-decak. Bergeleng-geleng. Adikku yang terbelalak. Sambil mengejek dan mengolokku sebagai orang yang selalu melihat keatas, hura-hura, dan berbagai hal lainnya. Kali ini aku tetap ngotot. Aku yakin aku pasti bisa menjadi penulis. Dan salah satu jalan yang ku pikir brilian adalah punya laptop ini.

Aku mendesah berat. Jemariku berhenti menekan pelan tombol-tombol di keyboard. Aku lelah. Mulai frustasi. Ternyata memang aku belum menemukan bakat diri. Ku buka kembali folder-folder dalam dokumenku. Ada 20an judul. Aku sedikit tergelak. Jambu monyet penakluk hati. Keciput manis rasa cinta. Kabut tengah malam. Sepi. Meranti merana. Bonjour. Siti suka merpati. Jenang Madu Mongso. Kembali dari Suramadu. Jember Banyuwangi. Kaktus tanpa Duri. Abu Awas. Sambal terasi Leila. Double Deja Vu. Cerita sang mangga tua. Ku tekan tombol close di pojok kanan paling atas.

Kepala belakangku nyeri. Sudah sering kubuka file-file itu. Tak ada dari berbagai judul itu yang selesai. Yang bagus. Yang berhasil. Tak ada yang membuatku puas. Semuanya separuh. Ideku  selalu mandeg di tengah. Kemampuanku masih harus diasah lagi. Diksiku sedikit. Wawasan tak luas. Putus asa.  Sempat ku putuskan mengistirahatkan si hitam, panggilanku untuk mesinku itu. Seminggu. Sama sekali tak kujamah. Hanya kerja, membantu Ibu, dan beristirahat. Tak lebih. Tak kurang.

 Kau tahu, hari ini, hari ketika kembali kubuka  si hitam yang hampir tertutup debu, usianya sudah satu tahun tujuh bulan. Namun sampai saat ini aku belum bisa membuktikan pada Ibu tentang mimpi-mimpiku yang terlalu tinggi.

Kembali ku tatap layarnya, ku bersihkan dengan tisu. Setiap sela-sela berdebunya. Bodinya yang besar dan 2 kilo lebih ku bersihkan.

“Gimana, Kak? Mana, aku mau lihat hasil karya kakak!” adik lelakiku tiba-tiba datang dengan penampilan rapi. Bersarung, berkopiah, baju koko putihnya keliatan baru.

“Hahahaha...” adikku menunjuk-nunjuk si hitam sambil tertawa ngakak. Suaranya yang ngebass kembali mengganggu telingaku. Menyentuh sudut hatiku, membuat aliran listrik kecil yang melesat hingga ujung jemari kedua tanganku mengepal.

Kesal. Lagi-lagi aku gagal.

Terbayang lagi decak Ibu yang entah untuk yang keberapa kali.

Kupejamkan mata. Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk membuktikannya. Aku akan mulai lagi. Tidak ada waktu untuk berpikir. Tak juga berguna banyak sesal. Waktunya menyelesaikan ceritaku yang masih separuh.

***

Banyuwangi, dibuat sekitar tahun 2015-2017


------------------------------------------

Catatan: Cerpen ini kubuat saat aku sedang senang-senangnya membaca cerpen di webnya lakonhidup.com yang sekarang aktif di ruangsastra.com . Mungkin semakin sedikit saja koran yang masih eksis ya sekarang ini, karena semua sudah di era digital dan online. Namun, semoga surat kabar yang masih aktif tetap semangat! karena aku Insya Allah kadang masih menyempatkan khusus membelinya. Beda nian membaca yang online dan bentuk koran sesungguhnya. Btw, maafkan jika cerpen belajaranku ini tidak bagus dan banyak kekurangan disana-sini. cerpen ini menurutku sendiri nggak ada kefokusan dalam cerita, bener-benar cerpen yang aneh kan. Maafkan diriku yang tak berbakat ini. Semoga bisa dinikmati walau sedikit ya. Semoga bisa dimengerti, dan semoga tidak bikin sakit kepala separuh.. hehe

Selamat hari selasa... Semangat!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hai Sobat.. Jangan lupa memberi komentar ya...
terima kasih..