Cerita yang Selalu Separuh
Oleh A.
Dewi
Pukul dua belas lebih empat puluh sembilan menit. Waktu ketika aku mulai menulis sesuatu. Sesuatu yang berhasil kutulis setelah sekitar satu minggu tak menjamah satu-satunya mesin berteknologi yang paling kuimpikan sejak bertahun lalu. Laptop ini, ya, baru lulus ku membayarnya sebulan yang lalu. Si hitam yang selalu terlihat menganga untuk rindu ku gunakan dengan kegunaan yang benar, bukan hanya untuk hiburan berupa game-game yang selalu dimainkan adikku, atau video tutorial hijab yang selalu diputar sepupuku kala butuh. Laptop yang sebenarnya kuinginkan sebagai lahan produktifitasku. Sebagai penyalur hobiku. Dan tentu saja membantuku untuk mendapatkan pundi-pundi hidup.
Aku suka menulis. Walau sebenarnya lebih suka membaca. Karena membaca itu sangat menyenangkan. Aku bisa keliling dunia dengan membaca. Meski hanya dalam angan dan imajinasi. Dan tentu saja, wawasanku akan bertambah karena membaca. Di waktu-waktu senggangku, aku banyak membaca dari hape mungilku-karena tak sanggup beli buku tebal tepatnya- entah itu membuka laman koran online atau menjelajah mbah google hingga mata buram. Aku juga gemar mencari berita-berita basi di potongan surat kabar yang didapatkan Ibu, saat pelanggannya menyerahkan kain atau baju yang mesti di jahit, di edit, atau di revisi. Di surat kabar itu kadang ada berita yang penting; walau sering-sering memuakkan. Ada juga kisah inspirasi, tips menarik, gosip artis, dan cerita bergambar. Tapi kebanyakan surat kabar yang mampir di antara tumpukan kain-kain Ibu hanya berupa iklan mini untuk jual-beli mobil motor bekas, masih mulus, full modifikasi, atau iklan besar yang menghabiskan satu halaman depan koran. Aku sampai tersenyum simpul melihatnya. Teringat kegigihan mereka yang ingin barangnya terjual. Dengan berbagai cara, termasuk iklan itu. Semua itu untuk hidup bukan?