Rabu, 11 April 2018

CERITA SANG MANGGA TUA

Sebuah cerpen buatan saya beberapa tahun lalu, walau banyak kekurangan disana sini, belum baik (dan terlalu panjang!) namun semoga berkenan dibaca sebagai sedikit hiburan. Ambil sisi positifnya, buang yang negatif yes.. Oiya, walau saya sebenarnya malu memajang cerpen ini, setidaknya jika ada yang benar-benar peduli dengan kesalahan dan kekurangan cerpen ini, dapat memberikan komentar atau saran. Jazakumullah Khair..


CERITA SANG MANGGA TUA
oleh A. Dewi



Hari menjelang malam. Sayup-sayup terdengar adzan berkumandang. Menghiasi keremangan senja yang berwarna jingga. Burung-burung agaknya sudah kembali ke sarang. Hanya tinggal jangkrik dan sederet hewan malam yang bangun, tampak siaga, dan memulai perburuan. Aku tetap di sini, berdiri tegak, bagai mandor yang mengawasi. Diantara padi-padi merunduk yang mulai tak terlihat termakan gelap. Bersanding dengan gemericik air sungai kecil yang mulai terdengar syahdu melengkapi  nada-nada malam.
Sudah lama sekali aku disini. Puluhan tahun sepertinya. Takdir Tuhanlah yang membuatku bisa bertahan sampai saat ini. Semua saudaraku sudah tak tampak rupanya. Tapi aku yakin mereka disana bahagia, karena bisa terbebas dari kehidupan yang nampak mulai kejam.

Baik, akan aku kisahkan sebuah cerita, yang aku dapatkan selama aku berada di sini. Aku memang hanya sebatang pohon mangga. Pohon mangga gadung yang berada di tengah persawahan. Aku tak ditebang karena manusia-manusia itu menyukai buahku. Hal yang sama tak terjadi pada saudara-saudaraku dahulu, mereka habis dirambah manusia-manusia yang membuka hutan untuk kehidupannya.
Aku sama sekali tak membenci manusia. Kita semua sama-sama makhlukNya kan? Aku juga bertasbih dengan caraku sendiri. Seperti mereka yang selalu melewati jalan di seberang saat hendak ke surau. Tak jauh dari tempatku berdiri. Aku sangat bahagia bisa melihat wajah-wajah bercahaya itu. Seperti bulan yang menerangi saat gelap. Kuharap kelak aku bisa ikut menjadi saksi tentang ketaatan mereka pada sang Pencipta.
Dulu, saat aku masih berupa tanaman kecil, hidupku sangat bahagia di kelilingi oleh saudara-saudaraku. Hewan-hewan banyak menjadi temanku, dan alam sangat bersahabat. Hujan datang dengan teratur. Aku masih ingat ragaku bergetar hebat kala air hujan datang membasahiku dengan tiba-tiba. Dengan turunnya hujan, kami dapat menghijau dan tumbuh subur. Bunga-bunga bermekaran, buah-buah bermunculan, dan rumput-rumput hampir menutupi seluruh tubuh mungilku. Itu sebelum aku bersiap untuk tumbuh dengan cepat. Saat musim kemarau pun, kami pun bisa bertahan, karena air tanah masih  tersedia. Kotoran dari hewan-hewan pun sangat membantu kami untuk memperoleh unsur hara. Simbiosis mutualisme, istilah yang baru aku pelajari dari anak desa yang mampir kemari, mungkin hubunganku dan hewan-hewan itu demikian adanya.
Entah, burung apakah yang kala itu membawa biji ku ke tanah ini. sehingga aku dapat tumbuh dan menjadikannya tanah kelahiranku. Mungkin juga kelelawar yang kekenyangan dan membawa serta biji mangga gadung yang baru saja dimakannya.
Dahulu manusia-manusia di sekitarku masih sangat sedikit. Dulu mereka sekedar mengambil hasil kami. Mereka mengambil daun-daunan, mengambil ranting-ranting yang telah patah dari kami, berburu hewan-hewan kecil diantara kami. Aku masih ingat tawa anak-anak desa di pinggir hutan ketika berhasil mengambil kelapa muda yang ada di dekat tempatku berdiri. Berjalan-jalan hingga senja hari, dan menyalakan api unggun di antara rimbunnya rerumputan yang menjadi hangus dan kering setelah pagi harinya. Kala itu aku masih belum berbuah. Aku masih berusaha meninggikan tubuhku. Aku ingin jadi pohon yang tinggi. Agar anak-anak itu bisa memanjatku. Dan agar pandanganku bisa luas. Walau aku  tumbuh di  tengah gumuk, yaitu gundukan tanah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, tapi dengan tinggi yang pas-pasan, tentu pandanganku tak bisa menjelajah. Padahal, kata pohon dadap yang tumbuh 5 meter di selatanku, aku cukup beruntung bisa tumbuh ditempatku. Aku pikir dia juga beruntung, karena memiliki bunga berwarna merah yang sangat indah.
Aku semakin tak sabar untuk menjadi besar dan tinggi seperti mereka. Sebab, kata mereka pemandangan di sekitar kami sangat indah. Tapi tiba-tiba keinginanku itu sedikit terhalang. Tubuhku baru setinggi 3 meter ketika datang sekelompok orang yang membawa kapak-kapak ke hutan tempat ku tinggal. Wajah mereka menyiratkan harapan. Ya, harapan dapat menemukan penghidupan lebih baik. Walau ada beberapa pasang mata mereka yang seliar kobra, dan setajam mata pisau. Entahlah apa sebenarnya yang mereka pikirkan. Mereka memulainya pada pagi hari, dan pulang saat petang hari. Aku hanya bisa berdiri menatap. Ular-ular bersembunyi di dekat rerimbunan belukar. Kadal lari tunggang langgang. Kucing hutan mungkin sudah keluar hutan. Burung-burung terbang mencari tempat berlindung. Mungkin hari ini saatku, pikirku di suatu siang. Namun ternyata hariku belum sampai. Aku berkeringat diantara angin semilir yang membelai daunku. Ranting-ranting terkoyak diantara suara kapak-kapak yang silih berganti, batang-batang terbelah. Daun hijau, daun kuning beradu untuk cepat sampai ke tanah. Tak dinyana ternyata daun muda yang lebih dulu sampai. Terbawa ranting yang gugur ksatria. Alam seperti terbangun. Saudara-saudaraku lenyap terkoyak. Di minggu pertama, mereka sudah melenyapkan sebagian dari ekosistemku. Mereka tak memilih. Apapun jenisnya, masih mudakah, sudah tuakah? Apakah langka, atau bahkan hanya perdu biasa. Semua yang menjadi penghalang akan disingkirkan. Bahkan hewan-hewan hanya bisa pasrah dan menyingkir. Saat itu, aku hanya bisa menunggu. Mungkin cita-citaku mempersembahkan buahku yang terbaik untuk anak-anak mereka akan segera musnah. Ditelan kebutuhan dan prioritas mereka.
“Hee... lihat, ada pohon mangga disini. Liat dia, sepertinya dia akan berbuah bagus. Janganlah ditebang dulu. Letaknya juga bagus, dia akan jadi tempat istirahat yang bagus kelak.” ujar salah satu dari mereka sambil mengoyak-oyak batangku dengan kasar. Entah apa maksudnya.
“Halah, kita ini mau buka hutan, masak sedikit-sedikit kau kasihan. Ya banyak nanti yang kau pertahankan.” jawab seorang lagi yang tengah berjibaku dengan semak belukar, bersenjatakan celurit tajam, ia terlihat akan menang.
“Tapi lihat tempat dia tumbuh, di gumuk kecil yang sangat pas untuk kita jadikan pembatas persawahan kelak. Kenapa kau tak melihat jauh kedepan, Paman!”
“Yah, boleh lah, untuk sekarang dia boleh bertahan. Ke depan, kita lihat lagi, kalo ternyata tak berguna, kita tebang saja.” kata Bapak tua berjanggut yang sudah kotor seluruh tubuhnya, terkena serbuk-serbuk kayu dan bekas tanah.
Seorang remaja mengamati sekitarku. Krash! Ia memotong ranting bawahku yang menghalanginya duduk di bawahku. Ia bersiul dan tampaknya sedang memandangi seekor burung warna-warni yang tengah berkicau diantara rantingku. “Iya lah, jangan di tebang dulu.” ujarnya lirih sambil bersantai dibawahku.
Semilir angin sore menerpaku. Membuai rumput-gajah yang masih tersisa diantara tanah yang mulai lapang. Mereka sudah mengemasi kapak-kapaknya, dan berjalan pulang. Menyisakan semua yang masih carut-marut. Gelondongan kayu-kayu berbagai jenis masih teronggok berantakan. Apalagi semak belukar yang mereka buka, bergunung-gunung dedaunan yang hampir semuanya sudah layu dan bahkan sudah menghitam. Berserakan. Hanya ada beberapa capung dan beberapa tupai, yang masih terlihat memungut sisa-sisa kejayaan. Hari sudah sore, tapi matahari masih sangat memanggang. Tak ada lagi tempat teduh disini. Hanya tinggal aku yang terlihat. Beberapa pohon kelapa, serta sebatang pohon waru yang nyaman di dekat sungai kecil yang terlihat tirus.
Manusia memang paling makhluk paling pandai di muka Bumi. Itu sebabnya Tuhan menjadikannya pemimpin. Tak perlu waktu lama, sekitarku sudah berganti seperti sekarang. Menjadi persawahan yang luas. Padi-padi membentang kala musim tanam tiba. Dan kala panen menjelang, para petani itu menyambut dengan gembira. Dan kau tahu, ucapan saudaraku dulu memang tidak salah. Pemandangan di sekelilingku memang yang terbaik. Walau akhirnya tubuhku tak terlalu tinggi, namun aku bisa melihat sekeliling dengan jelas. Di sebelah timur aku melihat laut dari kejauhan. Dan di barat, kutatap pegunungan. Gunung-gunung yang tampak kokoh diantara titik-titik kecil pedesaan dari kaki gunung. Ditambah kini persawahan membentang. Aku juga bisa melihat surau kecil di seberang. Surau yang mengalunkan nada Ilahi yang tak pernah bosan kudengar.
Kupandang sekelilingku. Ya! Aku tak boleh terbenam dalam kesedihan. Kini hidup baru di depan mata. Kegembiraan menyongsongku. Menyalamiku seraya memperlihatkan kuasa Tuhan. Kesedihanku pun perlahan berganti kegembiraan. Gembira karena akhirnya aku dapat berguna bagi mereka. Gembira karena mereka sangat menyukai buahku. Gembira kala para petani dan anak-anak mereka, singgah di bawahku. Mereka melepas lelah sambil membawa bekal dan menghabiskannya. Kulihat semangat mereka, tawa canda mereka ketika saat bertanam tiba. Tawa anak-anak desa yang bermain di sawah dan senyum puas para petani yang sukses memanen hasil sawah mereka, merupakan peristiwa terindah yang selalu aku nantikan.
Oiya, ada seorang gadis kecil yang kuingat. Seorang gadis yang sering berlama-lama dibawahku. Seorang gadis yang sering manjadikan akarku sebagai bantalan ketika ia tertidur. Gadis kecil yang sangat menyayangiku dan semua yang ada di tanah ini. gadis kecil yang walau tak bisa memanjatku, namun selalu menyebarkan kegembiraan disekitarku. Bercanda dengan serangga-serangga kecil sambil memetik buahku yang ranum dengan galah, memandang langit luas, selalu menjadi kebiasaannya saat menjadikanku peneduhnya di siang yang panas. Di sore hari, gadis itu sering menjemput sang ayah yang sedang bertani. Entah sudah berapa tahun lalu terakhir dia kemari. Waktu itu ia memandangku dari jauh. Setelah itu lenyap, dan dia tak pernah kembali.
Kegembiraanku berkurang. Bahkan kini, semuanya pun sudah tak sama lagi.
Kutatap capung kecil yang terdiam di antara pucukku. Tampaknya ia sudah terlelap.  Capung kecil yang mengaku datang dari jauh, terbawa sebuah mobil dari kota yang menderu beberapa belas jam hingga tiba senja tadi. Lelah terbang rendah, dan beristirahat diantara pucuk mudaku yang lambat tumbuh. Malam sudah semakin larut. Surau itu pun kembali sepi. Kini kawanku hanya angin malam yang terasa menusuk kambiumku. Dan kelelawar yang sibuk mencari buah-buah ranum yang mungkin masih tersisa. Maaf kawan, kini aku hanyalah sebatang pohon mangga tua yang sudah berayap. Buahku kini tak sebanyak dulu. Tapi, jika ada, ambillah sesuai kau mau.
Ku tatap bulan separuh malam itu. Ia tersenyum, tampaknya jam istirahatnya akan menjelang. Kumohon temani aku wahai bulan, hingga hangat kembali datang.
Suara adzan mengalun merdu memecah kesunyianku. Membimbing hati yang senantiasa butuh untuk bersuci. Mengabdi pada yang punya hidup. Capung teman baruku masih saja terdiam. Gelap mulai berkemas. Bahkan subuh kini seperti hanya sekejap mata. Aku menghirup oksigen yang tersisa di sela-sela mulut daunku. Allah benar-benar menciptakan malam dan siang dengan sempurna. Menjadikan semua makhluknya beristirahat dan bekerja dengan sangat berimbang. Kokok ayam bersahut-sahutan. Menggantikan suara binatang malam yang mengalah. Bulan pun tertutup indahnya mentari pagi.
Capung kecil membuka matanya. Ia berkerlap-kerlip menyaksikan suasana yang perlahan memenuhi mata kecilnya. Pagi baru di tempat baru.
* * *
Aku tak tahu kemana perginya teman kecilku itu. Kuharap ia akan baik-baik saja. Aku harap ia tak dimangsa burung yang lapar, atau tersesat di rumah-rumah berjendela lebar. Semoga juga tidak tertangkap tangan anak-anak yang berangkat sekolah.
“Kenapa yang aku lihat tak seperti indahnya ceritamu kawan?” tiba-tiba sayap kecil itu kembali.
“Apa yang berbeda wahai capung?”
“Walau awalnya ceritamu sangat menyedihkan, tapi aku cukup senang dengan akhirnya. Persawahan gelap yang aku lihat tadi malam dengan mataku yang lelah, cukup membuatku puas. Burung-burung disini pun, kurasa cukup jarang. Namun ternyata indahnya ceritamu hanya masa lalu. Lihat disana, di sawah itu, Tak ada yang lebih menyedihkan selain melihat padi-padi yang gagal karena kekeringan. Dan disana, padi-padi diserang burung yang kebingungan. Belum lagi tikus-tikus yang berpesta pora menyerang. Aku yakin tak lama lagi para petani itu akan memanen padinya dengan terpaksa. Aku tak sanggup melihat wajah mereka akan cemberut, ditekuk, bahkan mungkin putus asa.”
“Pagi ini bahkan aku hampir saja tertangkap seekor kadal kurus yang buas.”
“Persawahan dan gunung disana pun hampir tak terlihat, diganti rumah-rumah berjendela lebar dan gersang. Aku benci rumah-rumah bercat putih itu. Ia bertambah seperti jamur di musim hujan..” tambah capung panjang lebar.
Angin kering membelai tubuhku yang menua. Kutatap capung kecil berhati besar itu. “Ya, walau itu semua mungkin hampir hanya tinggal cerita, tapi aku sangat bangga bisa bercerita padamu. Liat disana, di papan itu, mungkin tak lama lagi semuanya hanya akan menjadi cerita indah. Tanah ini akan dijual. Itu kata orang yang satu minggu yang lalu menancapkan papan itu disana. Tapi semua memang ada batasnya kawan. Betapapun, bumi sudah semakin sesak dan tua. Alam semakin goyah, dan kita semua hanya bisa pasrah.”
Capung kecil terbang menggapai dedaunan kecil dan pelan-pelan memakannya.
“Sudahlah, aku lelah kawan. Kau benar, kita hanya makhluk lemah. Biarkan aku disini saja sampai tiba waktuku.”
Ciitt..........Pandangan kami tertegun. Terlihat sebuah mobil yang berhenti. Seorang wanita terlihat keluar dari mobil berdebu itu. Diikuti oleh seorang lelaki dengan anak perempuan dibelakangnya.
* * *
Dibawah Pohon Mangga di tengah sawah! Aku sangat menikmati saat-saat itu. Duduk sambil diantara akar-akar pohon yang laksana jemari mencakar bumi. Kadang kala sambil tidur-tiduran, membaca buku, tak jarang mengintip sang mentari dari rimbun dedaunan yang kadangkala membentuk garis cahaya yang indah.
Aku sangat merindukan saat-saat indah masa kecilku. Udara bersih ditambah angin sepoi-sepoi sungguh membuat damai di hati dan pikiran. Kala itu, menyepi sambil menemani ayah adalah rutinitasku selalu. Bahkan melakukannya lebih asyik daripada bermain boneka di rumah Tuti, sahabat kecilku. Tak jarang, rasa kantuk tak bisa kuhindari. Aku pun tertidur seperti anak keong masuk ke rumah keong-nya. Nyenyak dan hangat. Entah kenapa disana aku selalu merasa aman dan nyaman.
Dan saat ini, kerinduanku seperti membuncah. Entah bagaimana keadaan sawah itu. sawah yang kami jual dulu. Entah bagaimana pula pohon mangga kesayanganku. Semoga janjiku dahulu bisa aku tunaikan saat ini.
Kali ini aku yang menjadi nahkoda di mobil ini. Suamiku dan putri kecilku duduk disampingku. Kususuri jalan desa yang semakin lebar sejak kepergianku dulu. Perumahan-perumahan baru sedikit mengernyitkan dahiku. Aku tak menyangka semua telah berubah. Ku berharap akan menemukan tenang, tapi dimana-mana yang ada hanya modernisasi. Kulihat seorang yang belia menggendong buah hati di teras rumah sederhana. Pantas saja tanah luas kini mudah berganti wajah. Jumlah manusia semakin banyak. Tapi tak berimbang dengan alam yang semakin sempit. Manusia-manusia yang berpunyalah yang biasanya berkuasa. Tapi tak banyak yang bertindak bijaksana. Pohon ditebang habis, tanah sawah beralih fungsi. Entah bagaimana nasib anak cucuku kelak. Semoga masih ada asa tersisa.
Otakku sedikit terkuras untuk mengingat letak persawahan itu. Kutengok kanan kiri jalanan yang mulai aku ingat. Ladang yang lesu. Beberapa tak terurus. Beberapa berisi padi yang gagal. Ada juga sebagian kecil yang masih bertahan. Dan, Ya! Aku menemukannya! Sawah yang dulu dibeli ayah kami, namun dijualnya kembali. Sebidang sawah yang cukup luas dengan penanda sebatang pohon mangga di tengahnya. Aku rasa tak ada sawah lain yang seperti itu. Tak sabar aku memberhentikan mobilku di pinggir jalan. Kami pun turun dari mobil.
“Bunda! liat, bahkan Allah sudah membuka jalan untuk niat baik bunda!” Suamiku berseru sambil menunjuk papan lebar di sawah itu ketika kami sudah berjalan mendekatinya.
Aku tersenyum menatap suamiku. Alhamdulillah, ternyata tanah ini masih seperti yang dulu. Walau tanah-tanah disekitarnya hampir-hampir tak terurus. Namun sawah ini masih terlihat. Aku benar-benar senang. Kualihkan pandanganku pada pohon mangga kesayanganku. Kami seperti saling bertatapan. Ya! Keinginanku sudah bulat. Semoga tanah ini bisa aku ambil alih kembali. Insya Allah akan aku remajakan kembali tanahnya. Aku buat menjadi perkebunan buah tropis, seperti mimpiku dulu.
Aku berlari kecil menyusuri bedengan-bedengan sempit menuju pohon mangga tua itu. Pohon mangga gadung itu masih berdiri tegak disana. Bagai peneduh yang setia menunggu seseorang yang butuh perlindungan. Tak takut akan hujan, petir, bahkan terik matahari yang membakar. Sejenak, kulihat anakku dan suamiku mengikutiku dari belakang.
Angin kering perlahan meniup ujung jilbabku, memberi kesejukan dikala keringat menjalar. Aku pun sampai di bawah pohon itu. Berjalan sejenak mengitarinya, sembari menyentuh batang kuatnya yang berayap di sana sini. “Apa kau masih ingat aku, wahai pohon? Aku gadis kecil penunggumu dulu!”
“Tak kusangka kau masih berdiri disini. Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu lagi...” Aku menatapnya dengan takjub. Kulihat seekor capung kecil yang indah terbang rendah dan hinggap di dekat akarmu. Lagi-lagi mengingatkanku akan kenangan bersamamu.
“Ini pohon mangga yang selalu bunda ceritakan, Ayah, Nayla. Persis seperti yang bunda ceritakan kan. Dulu buahnya sangat manis dan besar-besar. Bunda selalu mengambilnya dengan lancang. Hahaha..” Aku menjelaskan pada suamiku yang berjalan mendekatiku. “Insya Allah, jika semuanya lancar, kelak pohon ini tetap disini hingga roboh dengan sendirinya. Kelak akan ada banyak pohon disini! Aamiin...Ya kan Ayah... Ayah dukung bunda, kan? Aku tersenyum meminta persetujuan suamiku.
Lelaki pemimpinku itu tersenyum, diikuti anggukan anakku yang terlihat senang.
* * *
“Siapa dia? Wahai pohon! Apa kau mengenalnya?” tanya sang capung padaku.
Aku hanya terdiam membisu. Menikmati hawa sejuk yang serta merta menyentuhku kala ia memperkenalkan dirinya. Wanita ini? benarkah gadis kecil yang kurindukan?
Kulihat sinar matanya yang tulus tak berubah.“Ia adalah pertolongan dari Allah, wahai capung. Kuharap masa depan kita akan lebih baik setelah ini.”
Kami berdua tersenyum, memandang tiga orang baik yang tersenyum di depan kami.


Banyuwangi, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hai Sobat.. Jangan lupa memberi komentar ya...
terima kasih..